Jakarta –
Gunung Semeru yang terletak di Jawa Timur telah kembali letusan pada Minggu (12/4/2022). Penduduk setempat berbondong-bondong mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Seperti yang Anda ketahui, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Semeru sendiri telah berstatus waspada sejak 16 Desember 2021. Gunung tersebut juga mengeluarkan banjir lahar akibat erupsi.
Sejalan dengan itu, pakar kegunungapian Universitas Padjadjaran Prof Dr Ir Nana Sulaksana, MSP menyoroti sistem peringatan dini dalam memantau aktivitas gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut. Prof. Nana menjelaskan letusan Gunung Semeru kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Letusan ini memang merupakan proses erupsi akibat peningkatan magma,” kata Prof. Nana di halaman Unpad dikutip Senin (5/12/2022).
Namun, letusan gunung berapi bukanlah kejadian yang tidak biasa. Gunung Semeru sendiri masih berstatus siaga (level 3) sejak 16 Desember 2021 dan naik menjadi siaga (level 4) pada Minggu (12/4/2022) pukul 12.00 WIB. Bahkan menurut Prof. Nana, letusan Semeru terjadi sejak pukul 03.00 WIB pada Minggu (4/12/2022).
“Saya kira ini menjadi masalah. Karena keberadaan Badan Gunung Api sudah tepat untuk memberikan peringatan sedini mungkin sebelum terjadi letusan, berdasarkan hasil pemantauan melalui pos pengamatan yang ada,” terangnya.
Karena itu, Prof . Nana mempertanyakan optimalisasi sistem peringatan dini sebelum erupsi Semeru terjadi. Sistem peringatan dini harus dikeluarkan sedini mungkin sebelum erupsi menimpa masyarakat, agar proses evakuasi dapat dilakukan lebih cepat.
Soroti Otonomi Daerah dalam Pemantauan Gunung Api
Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Unpad itu mempertanyakan apakah setiap daerah telah diberi otonomi dalam mengelola pemantauan gunung berapi. Otonomi ini diperlukan agar penyampaian informasi peringatan dini kepada masyarakat lebih cepat.
“Misalnya kita lihat peninggian status gunung berapi oleh instansi pusat. Artinya ada berbagai laporan birokrasi dari pos pengamatan yang kebetulan berada di kawasan sekitar Semeru, melapor ke kepala gunung api lalu pergi. back up ke Badan Geologi, itu terlalu jauh,” ujarnya.
Menurutnya, sistem peringatan dini yang optimal juga perlu didukung fasilitas dan sumber daya manusia, seperti ketersediaan posko dan peralatan pengamatan, untuk mendukung ahli vulkanologi yang secara khusus mengetahui seluk-beluk karakter gunung api dan siap bekerja dalam pengamatan. daerah.
“Dulu mungkin belum banyak sekolah geologi, sekarang sudah puluhan program studi teknik geologi yang tersebar di seluruh Indonesia,” lanjutnya.
Selain sistem peringatan dini yang harus optimal, Prof. Nana juga mendorong peta detail aliran lahar. Ada materi letusan terakumulasi dalam tubuh gunung berapi berupa endapan awan panas, ditambah dengan cuaca ekstrim yang sangat rawan terjadi luapan lahar panas dan dingin.
Simak Video “Mengamati Dampak Letusan Gunung Semeru”
[Gambas:Video 20detik]
(bukan/teman)