Jakarta –
Isu kelangkaan pupuk bersubsidi sudah mengemuka sejak beberapa bulan terakhir. Padahal, hal itu tidak terjadi karena pupuk bersubsidi dari Pupuk Indonesia mengalami stagnasi, namun alokasi pupuk bersubsidi lebih kecil dari kebutuhan petani berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
Selain itu, saat ini hanya ada 2 jenis pupuk bersubsidi yaitu Urea dan NPK. Pupuk yang sebelumnya bersubsidi seperti ZA, SP36 masih tersedia di pasaran namun dengan harga nonsubsidi.
Penyaluran pupuk bersubsidi dilakukan secara ketat. Untuk mendapatkan pupuk bersubsidi, petani wajib memiliki kartu tani yang berfungsi sebagai data sekaligus pembayaran pupuk bersubsidi menggunakan mesin electronic data capture (EDC) dari bank mitra pemerintah. Petani yang tidak memiliki kartu tani atau jika kartu taninya tidak aktif atau diblokir, tidak dapat menebus pupuk bersubsidi.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Selain jenis yang terbatas, komoditas pupuk bersubsidi juga dipangkas sejak tahun 1970-an menjadi hanya sembilan komoditas utama, yakni beras, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi, dan kakao.
Pemerintah menentukan alokasi pupuk bersubsidi untuk setiap daerah. Pengaturan alokasi secara bertahap dari pemerintah pusat ditetapkan oleh Kementerian Pertanian, alokasi di tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur, kemudian bupati/walikota menetapkan penerima pupuk bersubsidi di tingkat kabupaten/kota.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan alokasi pemerintah membuat distribusi pupuk bersubsidi lebih transparan dan terbuka.
“Ini merupakan perbaikan sistem yang bertujuan untuk memberikan kemudahan, keterbukaan dan transparansi dalam penggunaan pupuk bersubsidi. Kami berharap dengan perbaikan ini tidak lagi petani yang mengajukan secara langsung,” ujar Ali Jamil suatu ketika.
Apabila alokasi pupuk bersubsidi di satu wilayah sudah terpenuhi, PT Pupuk Indonesia sebagai BUMN yang mendapat penugasan dari Pemerintah, tidak bisa serta merta menambah pasokan pupuk bersubsidi. Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah melalui redistribusi penyaluran pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh pemerintah.
Redistribusi adalah penyaluran kembali jumlah pupuk bersubsidi antar wilayah, waktu dan jenis pupuk. Hal ini dilakukan jika terjadi kekurangan atau kelebihan pupuk pada satu area. Perhitungan alokasi dilakukan dengan mempertimbangkan alokasi yang tersedia dan kebutuhan pupuk yang diajukan.
Realokasi dapat terjadi antarprovinsi yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian, antarkabupaten/kota dalam satu provinsi yang ditetapkan oleh gubernur, hingga antarkabupaten dalam satu kabupaten yang ditetapkan oleh bupati/walikota.
“Dalam proses redistribusi, pemerintah pusat dan daerah tentunya akan berkomunikasi dengan Pupuk Indonesia. Sehingga Pupuk Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar proses distribusi pupuk bersubsidi dapat mengkoordinasikan kebijakan redistribusi tersebut,” jelas Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia Gusrizal kepada detikcom .
Gusrizal menegaskan, tugas Pupuk Indonesia adalah menyalurkan dan memantau pupuk bersubsidi dari Lini I (produsen) hingga Lini IV (kios). Untuk mencegah terjadinya kecurangan dan meningkatkan transparansi, Pupuk Indonesia telah menerapkan digitalisasi distribusi di empat lini tersebut.
Tonton video “Komitmen Pupuk Indonesia Produksi Amoniak Hijau dan Biru”
[Gambas:Video 20detik]
(ego/ego)