Jakarta –
Pemerintah Indonesia terus berupaya menyelesaikan kasus tersebut Tumpahan minyak Montara. Kasus ini sendiri bermula pada 21 Agustus 2009, saat anjungan minyak di lapangan Montara milik PTT Exploration and Production (PTTEP) meledak dari landas kontinen Australia.
Tumpahan minyak dengan total lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor selama 74 hari. Tumpahan minyak juga mempengaruhi pantai Indonesia.
Kasus tumpahan minyak Montara berjalan jauh. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku kesal.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
“Dulu terus terang saya marah. Karena seharusnya sudah selesai sebelum era Jokowi. Tapi tidak masalah, kita tidak perlu mencari masa lalu,” kata Luhut dalam jumpa pers di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. dan Gedung Perikanan, Kamis (24/11/2022).
Luhut menambahkan, meski ada pergantian pimpinan, pemerintah akan terus memperjuangkan kasus ini. Seperti diketahui, masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir pada 2024.
“Bahkan sekarang, meskipun pemerintah akan datang bergiliran, tidak apa-apa bagi kami untuk melanjutkan. Karena ini untuk menjaga lingkungan dan rakyat kami, kami tidak boleh main-main,” kata Luhut.
PTTEP disebut bersedia membayar ganti rugi sebesar AUD 192,5 juta atau US$ 129 juta. Jika dikonversi ke rupiah, jumlahnya setara dengan Rp 2,02 triliun (kurs Rp 10.500/AUD 1).
Rencananya, masing-masing nelayan yang terkena dampak akan mendapat bantuan sebesar AUD 6 ribu-AUD 7 ribu. Jumlah tersebut setara dengan Rp 63 juta-Rp 73,5 juta. Diperkirakan lebih dari 15 ribu nelayan terkena dampak kasus tumpahan minyak Montara.
Luhut mengatakan, kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi dunia, khususnya terkait lingkungan. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak bisa dibodohi.
“Orang luar berpikir Indonesia bisa ditipu, tidak. Standar internasional berlaku. Kita tidak bisa membuat klaim yang tidak benar, semuanya harus proporsional dan datanya benar,” pungkasnya.
(dna/dna)